Bismillah walhamdulillah walaa hawla walaa Quwwata Illaa
billah, Shahabat Islam yang berbahagia, kita bersyukur kepada Alloh bahwa
hingga hari ini Alloh masih mengulur waktu buat kita. Berbicara soal vonis, sebenarnya
setiap kita telah dijatuhi hukuman mati (S.21:35), hanya jadwal eksekusi yang
berbeda beda, ada yang minggu lalu, kemarin, tadi pagi, dan saya ? Anda ? Entah
kapan, yang jelas waktu yang tersisa, harus kita maksimalkan untuk berbuat
baik. Diantara kebaikan itu adalah: membangun sinergi yang baik antar dua
kekasih yang diikat erat janji suci, suami dengan isteri.
Bertengkar adalah
phenomena yang sulit dihindari dalam kehidupan berumah tangga, kalau ada
seseorang berkata : "Saya tidak pernah bertengkar dengan isteri saya
!" Kemungkinannya dua, boleh jadi dia belum beristeri, atau ia tengah
berdusta. Yang jelas saya dengan Ummu Naila sering menikmati sa'at-sa'at
bertengkar, sebagaimana lebih menikmati lagi sa'at sa'at tidak bertengkar
Bertengkar itu
sebenarnya sebuah keadaan diskusi, hanya saja dihantarkan dalam muatan emosi
tingkat tinggi. Kalau tahu etikanya, dalam bertengkarpun kita bisa mereguk
hikmah, betapa tidak, justru dalam pertengkaran, setiap kata yang terucap
mengandung muatan perasaan yang sangat dalam, yang mencuat dengan desakan
energi yang tinggi, pesan pesannya terasa kental, lebih mudah dicerna ketimbang
basa basi tanpa emosi. Baiklah, hari ini saya ingin paparkan resep keluarga
kami dalam melangsung kan sebuah pertengkaran, alhamdulillah telah saya jalani
selama 13 tahun, dan berhasil membangun keadaan yang senantiasa lebih asyik
daripada sebelum terjadi pertengkaran. Tulisan ini murni Non Politik, jadi
tolong Uni Ranti jangan tergesa gesa menghapusnya
Ketika saya dan si
pencuri [hati saya] -- eh enggak koq dia tidak curi hati saya, malah saya
kasikan dengan ikhlas dibarter hatinya yang tulus—
Awal bertemu, setelah saya tanya apakah ia bersedia berbagi
masa depan dengan saya, dan jawabannya tepat seperti yang diharap, kami mulai
membicarakan seperti apa suasana rumah tangga ke depan. Salah satu diantaranya
adalah tentang apa yang harus dilakukan kala kita bertengkar, dari beberapa
perbincangan via tulisan plus waktu yang mematangkannya, tibalah kami pada
sebuah Memorandum of Understanding, bahwa kalau pun harus bertengkar maka :
1. Kalau bertengkar tidak
boleh berjama'ah
Cukup seorang saja
yang marah-marah, yang terlambat mengirim sinyal nada tinggi harus menunggu
sampai yang satu reda. Untuk urusan marah pantang berjama'ah, seorangpun sudah
cukup membuat rumah jadi meriah. Ketika ia marah dan saya mau menyela, segera
ia berkata "STOP" ini giliran saya !
Saya harus diam sambil istighfar. Sambil menahan senyum saya
berkata dalam hati : "Kamu makin cantik kalau marah, makin energik
..." Dan dengan diam itupun saya merasa telah beramal sholeh, telah
menjadi jalan bagi tersalurkannya luapan perasaan hati yang dikasihi...
"duh kekasih .. bicaralah terus, kalau dengan itu hatimu menjadi lega,
maka dipadang kelegaan perasaanmu itu aku menunggu ...."
Demikian juga
kalau pas kena giliran saya "yang olah raga otot muka", saya menganggap bahwa distorsi hati, nanah
dari jiwa yang tersinggung adalah sampah, ia harus segera dibuang agar tak
menebar kuman, dan saya tidak berani marah sama siapa siapa kecuali pada isteri
saya, maka kini giliran dia yang harus bersedia jadi keranjang sampah. pokoknya
khusus untuk marah, memang tidak harus berjama'ah, sebab ada sesuatu yang lebih
baik untuk dilakukan secara berjama'ah selain marah.
2. Marahlah untuk persoalan
itu saja, jangan ungkit yang telah terlipat masa.
Siapapun kalau diungkit kesalahan masa lalunya, pasti terpojok,
sebab masa silam adalah bagian dari sejarah dirinya yang tidak bisa ia ubah.
Siapapun tidak akan suka dinilai dengan masa lalunya. Sebab harapan terbentang
mulai hari ini hingga ke depan. Dalam bertengkar pun kita perlu menjaga
harapan, bukan menghancurkannya. Sebab pertengkaran di antara orang yang masih
mempunyai harapan, hanyalah sebuah foreplay, sedang pertengkaran dua hati yang
pa tah asa, menghancurkan peradaban cinta yang telah sedemikian mahal
dibangunnya. (sampai hari ini, biaya pernikahan saya masih harus terus saya
cicil, sayang kan kalau di delete begitu saja ...
Kalau saya
terlambat pulang dan ia marah, maka kemarahan atas keterlambatan itu sekeras
apapun kecamannya, adalah "ungkapan rindu yang keras". Tapi bila itu
dikaitkan dengan seluruh keterlambatan saya, minggu lalu, awal bulan kemarin
dan dua bulan lalu, maka itu membuat saya terpuruk jatuh. Bila teh yang
disajinya tidak manis (saya termasuk penimbun gula), sepedas apapun saya marah,
maka itu adalah "harapan ingin disayangi lebih tinggi". Tapi kalau
itu dihubungkan dengan kesalahannya kemarin dan tiga hari lewat, plus tuduhan
"Sudah tidak suka lagi ya dengan saya", maka saya telah menjepitnya
dengan hari yang telah pergi, saya menguburnya di masa lalu, ups saya telah
membunuhnya, membunuh cintanya.
Padahal kalau cintanya mati, saya juga yang susah ... OK,
marahlah tapi untuk kesalahan semasa, saya tidak hidup di minggu lalu, dan ia
pun milik hari ini .....
3. Kalau Marah jangan
bawa-bawa keluarga !
Saya dengan isteri saya terikat masa 13 tahun, tapi saya dengan
ibu dan bapak saya hampir dua kali lipat lebih panjang dari itu, demikian juga
ia dan kakak serta pamannya. Dan konsep Quran, seseorang itu tidak menanggung
kesalahan fihak lain (S.53:38-40). Saya tidak akan terpantik marah bila cuma
saya yang dimarahi, tapi kalau ibu saya diajak serta, jangan coba-coba.
Begitupun dia, semenjak saya menikahinya, saya telah belajar mengabaikan
siapapun di dunia ini selain dia, karenanya mengapa harus bawa-bawa orang lain
kekancah "awal cinta yang panas ini". Kata ayah saya : "Teman
seribu masih kurang, musuh satu terlalu banyak". Memarahi orang yang
mencintai saya, lebih mudah dicari ma'afnya dari pada ngambek pada yang tidak
mengenal hati dan diri saya.."
Dunia sudah diambang pertempuran, tidak usah ditambah tambah
dengan memusuhi mertua!
4. Kalau marah jangan di
depan anak-anak !
Anak kita adalah buah cinta kasih, bukan buah kemarahan dan
kebencian. Dia tidak lahir lewat pertengkaran kita, karena itu, mengapa mereka
harus menonton komedi liar rumah kita. Anak yang melihat orang tua nya
bertengkar, bingung harus memihak siapa. Membela ayah, bagaimana ibunya. Membela
ibu, tapi itukan bapak saya ... ketika anak mendengar ayah ibunya bertengkar :
Ibu : "Saya ini cape, saya bersihkan rumah, saya
masak, dan kamu datang main suruh begitu, emang saya ini babu ?!!!"
Bapak : "Saya juga
cape, kerja seharian, kamu minta ini dan itu dan aku harus mencari lebih banyak
untuk itu, saya datang hormatmu tak ada, emang saya ini kuda ????!!!!
Anak :"...... Yaaa
...ibu saya babu, bapak saya kuda .... terus saya ini apa ?"
Kita harus berani
berkata : "Hentikan pertengkaran !" ketika anak datang, lihat mata
mereka, dalam binarannya ada rindu dan kebersamaan. Pada tawanya ada jejak
kerjasama kita yang romantis, haruskah ia mendengar kata basi hati kita ???
5. Kalau marah jangan lebih
dari satu waktu sholat !
Pada setiap tahiyyat
kita berkata : "Assalaa-mu 'alaynaa wa 'alaa 'ibaadil- ahis
holiihiin" Ya Alloh damai atas kami, demikian juga atas hamba-hambamu yang
sholeh .... Nah andai setelah salam kita cemberut lagi, setelah salam kita
tatap isteri kita dengan amarah. Maka kita telah mendustaiNya, padahal nyawamu
ditanganNya ...... OK, marahlah sepuasnya kala senja, tapi habis maghrib harus
terbukti lho itu janji dengan Ilahi ..... Marahlah habis shubuh, tapi jangan
lewat waktu dzuhur, Atau Maghrib sebatas isya ... Atau habis isya sebatas ....
??? Nnnng .. Ah kayaknya kita sepakat kalau habis isya sebaiknya memang tidak
bertengkar .....
6. Kalau kita saling
mencinta, kita harus saling mema'afkan
{hikmah yang ini saya dapat belakangan, ketika
baca dikoran resensinya film Demi Moore [judulnya saya lupa ....]} Tapi yang
jelas memang begitu, selama ada cinta, bertengkar hanyalah "proses belajar
untuk mencintai lebih intens" Ternyata ada yang masih setia dengan kita
walau telah kita maki maki. Ini saja, semoga bermanfa'at, "Dengan ucapan
syahadat itu berarti kita menyatakan diri untuk bersedia dibatasi"
sumber : materi dakwah sekolah
Tidak ada komentar: