Salah satu konsekuensi seseorang menjadi muslim
adalah meninggalkan segala bentuk nilai-nilai yang tidak Islami atau yang
jahili. Karena itu setiap mu'min dituntut untuk masuk ke dalam Islam secara
kaffah atau menyeluruh. Allah berfirman yang artinya: "Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu
kedalam Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kamu turut langkah-langkah
syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu" (QS 2:208).
Ayat
tersebut turun dengan sebab; ada sekelompok sahabat yang semula beragama Yahudi
meminta kepada Nabi Saw agar dibolehkan merayakan atau memuliakan hari Sabtu
dan menjalankan kitab Taurat. Maka turunlah ayat ini yang tidak membolehkan
seseorang yang telah mengaku beriman tapi masih berprilaku sebagaimana
prilakunya pada masa jahiliyah.
Meskipun
demikian, masih banyak dari orang-orang yang mengaku beriman tapi tidak
meninggalkan kebiasaan-kebiasaan lama yang jahiliyah sehingga kepribadiannya
masih bercampur dengan kepribadian jahiliyah, karenanya orang seperti itu
pantas kita sebut dengan muslim yang jahili. Dari sekian banyak tandanya,
Rasulullah Saw menyebutkan dalam satu hadits: "Empat perkara pada umatku dari perkara jahiliyah yang mereka
tidak meninggalkannya, yaitu: membanggakan derajat keturunan, mencela
keturunan, meminta hujan dengan binatang dan maratapi mayat" (HR.
Muslim).
Dari
hadits di atas, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa dari sekian banyak tanda,
ada empat tanda muslim jahiliyah yang disebutkan oleh Rasulullah Saw. Hal ini
memang harus kita pahami dengan baik agar model kehidupan jahiliyah itu tidak
kita jalani. Sahabat Umar bin Khattab pernah menyatakan: 'Kalau engkau hendak menghindari jahiliyah, kenalilah jahiliyah itu'.
1.
Membanggakan Keturunan.
Kemuliaan
dan ketaqwaan seseorang bukanlah diukur dengan keturunan dalam arti secara
otomatis. Karena itu, kalau kita ingin membanggakan atau memuliakan seseorang,
bukanlah karena keturunan, tapi karena iman dan prestasi amal shalehnya. Namun
yang kita saksikan justeru sebaliknya. Tak sedikit orang yang terpilih menjadi
pemimpin secara otomatis dengan sebab keturunan. Kalau bapak raja, maka anak
secara otomatis akan menjadi raja meskipun sang anak belum tentu mampu menjadi
raja, bahkan sebenarnya ada orang lain yang lebih pantas untuk menjadi raja.
Begitulah dalam negara yang menggunakan sistim kerajaan.
Disamping
itu, membanggakan keturunan juga dalam bentuk tidak menghukum orang-orang
keturunan ningrat atau yang “berdarah biru” bila mereka melakukan kesalahan,
bahkan kesalahan itu cenderung ditutup-tutupi, sementara bila orang biasa
melakukan kesalahan, maka hukuman yang ditimpakan kepadanya jauh lebih berat
daripada kesalahan yang dilakukannya. Ketika para sahabat menanyakan soal ini,
Rasulullah Saw menegaskan: Seandainya anakku, Fatimah mencuri, akan aku potong
tangannya.
2. Mencela
Keturunan.
Karena
kemuliaan seseorang harus kita ukur dengan ketaqwaannya kepada Allah Swt, maka
seorang muslim tidak dibenarkan mencela orang lain dengan sebab keturunan,
misalnya kalau bapak atau ibunya tidak baik, maka kita menganggap anak-anaknya
juga tidak baik, lalu kita mencelanya, dan begitulah seterusnya. Memang
adakalanya bila orang tua tidak baik, anaknya juga ikut menjadi tidak baik,
namun kita tidak bisa menganggap semuanya seperti itu.
Pada
masa jahiliyah, mencela keturunan memang biasa terjadi, bahkan seringkali
permusuhan seseorang dengan orang lain akan turun-temurun kepada anak cucunya.
Islam sangat tidak membenarkan perlakuan mencela orang lain, apalagi hanya
karena keturunan, karena bisa jadi yang dicela sebenarnya lebih baik daripada
yang mencela. Allah berfirman yang artinya: Hai orang-orang yang beriman,
janganlah suatu kaum mengolok-olokkan kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka
(yang diolok-olokkan) itu lebih baik dari mereka (yang mengolok-olokkan) dan
jangan pula wanita-wanita (mengolok-olokkan) wanita-wanita lain karena boleh
jadi wanita-wanita (yang diolok-olokkan) lebih baik dari wanita-wanita (yang
mengolok-olokkan) dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan janganlah kamu
panggil memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan adalah
(panggilan) yang buruk sesudah iman, dan barangsiapa yang tidak bertaubat, maka
mereka itulah orang-orang yang zalim (QS 49:11).
3. Meminta
Hujan Dengan Binatang.
Turunnya
hujan yang cukup merupakan dambaan manusia dalam kehidupan di dunia ini, karena
dengan demikian, disamping akan terpenuhinya kebutuhan air yang memang sangat
penting bagi manusia, juga dapat terpenuhinya air bagi pertanian dan peternakan
serta lingkungan hidup akan terasa lebih nyaman.
Manakala
terjadi kemara panjang, maka akan berakibat pada semakin panasnya suhu udara
dan menipisnya persediaan air bagi manusia, binatang dan tumbuh-tumbuhan.
Karena itu, Islam mengajarkan kepada kita untuk meminta hujan kepada Allah Swt
dengan melaksanakan shalat istisqa.
Namun dalam kehidupan masyarakat kita,
terdapat budaya yang justeru bertentangan dengan ajaran Islam itu sendiri dalam
kaitan meminta hujan, yakni meminta hujan melalui binatang, misalnya dengan
menyiram kucing dengan air dan sebagainya. Perbuatan semacam ini bukan hanya
mengganggu binatang, tapi juga dapat merusak keyakinan yang bersih, sesuatu
yang harus selalu dipelihara oleh setiap muslim agar keyakinannya tidak
bercampur dengan kemusyrikan. Karena itu, apalabila ada seorang muslim meminta
hujan dengan perantaraan binatang, maka keyakinan dan prilakunya itu berarti
masih bersifat jahiliyah.
4. Meratapi Mayat.
Mati
merupakan suatu hal yang biasa. Setiap kita pasti akan mencapai kematian, cepat
atau lambat. Ketika ada anggota keluarga kita, orang-orang yang kita cintai
atau tokoh masyarakat yang menjadi penutan kita dalam kebaikan meninggal dunia,
kesedihan atas kematian mereka merupakan sesuatu yang mungkin saja terjadi.
Bahkan Umar bin Khattab ketika dikhabarkan bahwa Rasulullah Saw wafat beliau
merasa tidak percaya, karenanya dengan pedang di tangan, beliau menyatakan
bahwa kalau ada yang menyatakan bahwa Rasulullah Saw sudah wafat akan aku tebas
batang lehernya. Menghadapi hal itu, maka sabahat Abu Bakar Ash Shidik
menenangkan Umar bin Khattab dan menegaskan bahwa Rasulullah memang telah
wafat.
Sedih
atas kematian seseorang memang boleh saja, tapi kesedihan yang berlebihan
sampai meratap dengan memukul-mukul badan, kepala, muka, menarik-narik rambut
dan mengucapkan kata-kata yang menggambarkan tidak adanya rasa yakin atau
percaya kepada Allah Swt merupakan sesuatu yang tidak bisa dibenarkan, karena
itu, dala, kitab hadits Riyadush Shalihin, Rasulullah Saw menganggap orang
seperti itu sebagai orang yang bukan umatnya, beliau bersabda yang artinya:
"Bukan dari golonganku orang yang
memukul-mukul pipi, merobek saku dan menjerit dengan suara kaum jahiliyah"
(HR. Bukhari dan Muslim).
Meratapi
mayat terjadi karena seseorang tidak menerima kematian orang yang diratapinya
itu, akibatnya karena memang kematiannya sudah tidak bisa ditolak lagi, maka
diapun diperlakukan seperti layaknya orang yang masih hidup, misalnya dengan
membangun kuburannya meskipun harus dengan biaya yang besar, berdo’a dengan
meminta bantuan kepada orang yang sudah mati, berandai-andai kalau dia masih
hidup hingga tidak berani meninggalkan wasiat-wasiatnya yang tidak benar
sekalipun, bahkan ada kuburan yang diberi kelambu dan disediakan air minum di
atasnya. Ini semua merupakan sesuatu yang tidak bisa dibenarkan di dalam Islam.
Karenanya bila ada kaum muslimin melakukan hal itu, dia berarti masih melakukan
praktek-paktek kejahiliyahan yang sangat tidak dibenarkan.
Dengan
demikian, harus kita sadari bahwa sebagai seorang muslim, semestinya kita
menjauhi dan meninggalkan segala praktek kehidupan yang tidak sejalan dengan
nilai-nilai Islam. Bila hal itu tetap saja kita kerjakan, bisa jadi keimanan
dan keislaman kita hanya sebatas pengakuan yang belum tentu diakui oleh Allah
Swt dan Rasul-Nya
Tidak ada komentar: