Cinta Seumpama Lalat
(Dalam Edukasi Sastra Cinta)
Oleh: Muhammad el-Rijal
Cinta itu seperti lalat. Pada
sayap sebelah adalah racun yang menyebabkan penyakitan. Tapi pada sayap yang
sebelah adalah penawarnya. Begitulah cinta. Singgahnya cinta dalam hati tak
ubah seperti lalat yang singgah di segelas susu menyegarkan. Jika sebelah sayap
mencelupi airnya, akan lumpuhlah kesegaran susu; menjadikannya air yang
beracun, menyakitkan dan bahkan bisa binasalah peminumnya. Ada pula
racun-racunnya dibagi menjadi beberapa divisi. Pertama, racun yang membuat
sakit pada hati; kedua, racun yang membuat sakit pada jiwa. Pada divisi pertama
ini, bila cintanya pergi berpaling, sang pencinta akan merasakan kesedihan dan
kesakitan yang sangat dalam di dalam hatinya. Hidupnya seakan tidak berpihak
kepadanya dan ianya akan terus terkungkung dalam kegalauan; seolah cinta itu
serigala pemangsa kehidupan. Pada divisi kedua, cinta diperankan dalam
menjangkiti jiwa manusia kepada kematian akal sehat. Racunnya lebih berbahaya
daripada racun pertama. Seseorang yang hatinya kosong dari makrifat, akan
sangat mudah terjangkitinya. Keganasan racunnya akan memakan saraf-saraf yang
menyambung kepada akal hingga ia bisa lupa segala. Ianya kehilangan dirinya
bahkan nama Tuhan. Jika sudah demikian, sia-sialah hidupnya; sedang hakikatnya,
ia bukan merasakan cinta, tapi nafsu syahwat. Hati dan jiwanya berada dalam
sekarat.
Tidak ada kata lain untuk
mengobati kedua sakit ini melainkan dicelupkannya sayap cinta yang sebelah;
yang merupakan penawar segala sakit asmara. Sang pencinta harus bisa
memanfaatkan sisi cinta yang lain untuk membangkitkan ia dari keterpurukan jiwa
atas racun sayap lainnya. Masing-masing sakit yang telah hinggap di atas, bisa
diobati dengan cara sendiri dalam sistem penawarnya tergantung racun mana yang
menjangkitinya itu. Pada sang pencinta yang mengalami patah hati karena
ditinggal sang pujaan. Maka obatilah ia dengan sayap cinta yang sebelah. Karena sejatinya, sayap cinta tidak pernah
patah. Cinta masih bisa terbang tinggi meski akan terengah-engah. Bila sudah
menemu nama kekasih, ia akan kembali pulih sempurna; melupakan sakit yang lama,
lalu kembali hidup dalam taman-taman yang kasmaran.
Perlu pula diketahui: mereka
yang mengalami kesesatan cinta. Hati yang buta tidak bisa mengetahui siapa yang
dia cinta dan akan dibawa kemana cintanya pergi. Ia dibuat seperti sapi dicocok hidungnya oleh
serigala bermata purnama; yang menjelma penggembala jelita. Sungguh hati berbeda dengan indera dan
organ-organ tubuh lainnya. Jika
tubuh adalah rakyat jelata, maka hati adalah raja: pusat pengendali keputusan.
Hati yang buta, tiada berguna mata dan telinga. Siapa pun dan apapun yang orang
lain nasihatkan, tidak akan berpengaruh pada proses pengambilan keputusan oleh
hati. Meski orang berdiri di muka, pun berteriak lekat di telinga bahwa satu
langkah lagi dia akan masuk ke lubang, dia tidak akan pedulikan itu. Ianya
mengira orang-orang yang mengingatinya itu hanyalah orang-orang bodoh yang iri
atas cintanya. Hati yang buta itu disebabkan oleh tidak adanya makrifat. Maka
cara mengobatinya tidak lain hanyalah doa. Kita bisa mencegah di awal dengan
mengenalkannya pada hakikat sebelum jiwanya terluka; sebelum ianya terlanjur
jatuh kepada hati yang salah. Ya, mengenalkannya pada hakikat akan segala hal
mengenai cinta, alur mencinta dan siapa pemilik cinta sebenarnya. Sebab hati
yang lemah dan jauh dari makrifat, adalah sasaran dari panah-panah setan yang
menampakkan indah bunga-bunga kebinasaan.
Tidak ada komentar: