Ada nyeri yang tertera di hati. Ada gamang yang mengguncang-guncang perasaan. Sekali lagi, sebuah peristiwa menghentak jiwa. Dan membuat saya bertanya-tanya: Kira-kira seperti apa akhir perjalanan hidup saya? Entahlah, saya tidak tahu dan yakin sepenuhnya bahwa saya tak akan pernah tahu. Mungkin dengan cara yang tak pernah saya bayangkan sebelumnya, atau mungkin dengan cara yang jusutru selalu saya bayangankan sebelumnya.
Sebagaimana tak pernah terlintas dalam benak saya, beliau akan mengalami kejadian tersebut dan meninggal karenanya. Senin sore itu menjelang maghrib, menerima sms dari seorang kawan. Innalillahi wa inna ilaihi roji’un, Ibu Agus Haryanto meninggal karena perampokan. Besok kita melayat jam 8. Begitu bunyinya.
Sungguh, rasanya tak percaya sewaktu saya membacanya. Tapi, sms itu memang benar adanya. Berita di TV dan di radio yang saya dengar kemudian menegaskan kebenaran peristiwa tersebut. Tanpa dapat dicegah, peristiwa perampokan itu membayang dan terlintas-lintas di benak saya. Membawa kengerian (membayangkan luka bacokan di leher dan tangan), membawa rasa kasihan (membayangkan keluarga dan anak-anaknya yang baru mulai beranjak dewasa, bahkan anak perempuannya satu-satunya (tiga putra lainnya laki-laki) baru saja menikah). Bagaimana rasanya jika saya yang mengalaminya?
Tapi kematian memang tidak memilih cara, usia dan status. Ia bisa menimpa siapa saja, usia berapa pun dan dengan cara yang bagaimanapun. Pula, usia, status dan cara itu bukanlah MASALAH. It’s not the matter, it’s not the point how does somebody die. Yang menjadi masalah adalah dalam kondisi bagaimana kita ketika meninggal. Dan meninggalnya Ibu Agus Haryanto di tangan perampok memberi pelajaran yang dalam bagi saya.
Wanita paro baya ini dikenal ramah, energik, baik pada semua orang tapi juga sekaligus seorang aktifis yang tegas. Saya tidak mengenal beliau secara dekat. Hubungan kami hanyalah hubungan antara saya sebagai salah satu aktifis Forum Silaturahmi Muslim Departemen Keuangan dan beliau adalah seorang anggota pimpinan Dharmawanita Departeman Keuangan, yang kebetulan sama-sama memiliki konsern tinggi terhadap dunia anak-anak dan wanita/karyawati, juga keluarga. Kesamaan konsern inilah yang membuat kami sering mengadakan kerjasama, diantaranya adalah mengadakan seminar tentang keluarga dan anak serta mengadakan perlombaan bagi karyawan/karyawati departemen keuangan dan keluarganya dalam rangka Memperingati Hari Anak Nasional.
Selain itu, selama lebih dari dua tahun terakhir, kami terlibat dalam kerjasama membangun Tempat Penitipan Anak (Child Care Center) di Departemen Keuangan sebagai upaya pemberian fasilitas bagi ibu-ibu bekerja agar dapat menyempurnakan pemberian ASI kepada bayi. Proses ini sudah memakan waktu sedemikian lama, dan nyaris rampung berkat dukungan dan andil besar dari Ibu Agus. Bahkan, sedemikian lamanya hingga saya bahkan telah mengundurkan diri dari Tim. Tapi selama itu beliau tak kehilangan stamina. Saat kami lemah karena hambatan yang sedemikian banyak dan membuat proyek ini nyaris mustahil, beliaulah yang ‘memarahi’ dan menyemangati bahwa proyek harus terus berjalan, apapun hambatananya. Entahlah, setelah beliau tiada, saya tidak tahu akan bagaimana kelanjutan proyek ini. Sebagaimana saya juga tidak tahu, entah ada berapa banyak rencana dan proyek lain yang sedang beliau kerjakan saat ajal menjemput.
Kematian telah menjadi garis pembatas, yang menghentikan semua yang beliau lakukan. Tapi, sekali lagi, itu semua tak menjadi soal. Karena Allah telah menjanjikan pahala bagi sebuah usaha, sebuah proses, bukan hasil. Selama sebuah aktifitas merupakan amal shaleh yang dilandasi keikhlasan, maka pahala tetap ditangan meskipun kematian menghentikan upaya itu. Apalagi jika saat meninggal, yang bersangkutan berada dalam kondisi terbaik.
Dan demikianlah saya harapkan pada Ibu Agus Haryanto. Saat peristiwa perampokan itu terjadi, beliau dalam kondisi sedang berpuasa senin kamis. Beliau meninggal dalam situasi memepertahankan amanah yang dia pegang: Uang milik Dharma Wanita Departemen Keuangan. Betapa manisnya, betapa indahnya, meskipun ajal menjemput lewat tangan perampok bengis. Berbahagialah mereka, orang-orang yang menemui ajal dalam kondisi terbaik. Semoga beliau termasuk dalam kategori mati syahid, begitu ungkap Bp Mar’I Muhammad dalam pidato pengantar pemberangkatan jenazah. Selamat jalan, Ibu! Selamat jalan sahabat, selamat jalan mujahidah!
Dan, tiba-tiba saja saya ingin mengubah doa dan permohonan saya yang saya titipkan kepada dua sahabat saya yang akan berangkat menunaikan ibadah haji akhir bulan ini.
Kawan, tidak, jangan mintakan saya karir yang sukses, rizki yang baik, jodoh yang sholeh ataupun kesuksesan duniawi lainya. Biar, biar Allah saja yang menentukan itu bagi saya, seperti apapun. Saya hanya minta mohonkan satu saja: Agar saya kuat, tegar dan benar menjalani semua takdirNya, hingga ketika saya tiba pada batas waktu usia saya, saya dapat mengakhirinya dengan baik, dengan manis, dengan indah. (Sungguh, saya takut ajal itu menjemput saat saya sedang berkeluh kesah, berputus asa terhadap rahmatNya. Sungguh, saya takut batas akhir kehidupan saya tiba saat saya sedang bermaksiat kepadaNya. Sungguh saya khawatir, ketika waktu telah ditutupkan atas saya, diri saya tengah bergumul dengan kesia-siaan. Sungguh, saya khawatir, saat saya meninggal, hati saya tengah diliputi kecewa, kemarahan atau kebencian).
Kawan, tolong mohonkan itu pada Tuhan! Tuhan, mohon kabulkan doaku!
(@azi, sekedar ucapan selamat jalan untuk Ibu Agus Haryanto: cukuplah kematianmu menjadi pelajaran bagi kami, manusia yang ditinggalkan)
sumber : kafemuslimah.com
Tidak ada komentar: